Seperti tulisan gua sebelumnya gua masih percaya kita memang punya potensi untuk hidup selamaya. Jika ngin mengetahui argumenya silakan baca tulisan sebelumnya. Gua ga akan bahas hal itu kali ini, tetapi gua akan bahas kenapa kita punya ambisi untuk hidup selamanya?.
Mari kita lihat fenomena sejarah, konotasi hidup selamanya
selalu diletakan pada hal “buruk”, ia seolah-olah melekat pada keserakahan dan
lupa diri yang teramat sangat, Tetapi benarkah demikian?. Mari kita buang
sejenak iman mu tentang itu, mari kita menjelajah pada sebuah hal mengerikan
bernama “ditingalkan selamanya oleh orang yang kau sayangi?” mari renungkan,
mengerikan bukan?. Karena itu hidup selamanya masih relevan hingga kini, sebab
ia masih terikat ruang-ruang dimensi emosi yang rumit. Mungkin pada abad 21
nanti jika akhirnya kita tidak bisa hidup selamanya, perasan itu bisa hilang
begitu saja seperti menekan tombol lampu dari hidup ke mati. Tetapi yakinkah
dirimu menekan tombol itu dan melupakan orang terkasih mu?. Pikirkanlah.
Lantas apakah berarti kita tidak menerima kenyataan? Jangan tanyakan
hal itu padaku, tanyakan pada dirimu sendiri. Siapkah kita semua ditinggalkan
orang terkasih?